Pak Marhaen Kebingungan di Negeri yang Kaya

Hujan kembali turun setelah sekian lamanya memendam diri diatas gumpalan kabut, kekeringan melanda dimana-mana, hutan dan kayu habis terbakar, petani merintih karena gagal panen berulang-ulang, anak sekolah bermandikan keringat kala tiba dirumah usai sekolah, matahari terlalu terik, bahkan tanah pun ikut mengeluarkan asap karenanya tetapi itu beberapa bulan yang lalu, kini hujan sudah kembali turun, bahkan ini adalah hujan dihari ketiga tanpa ada jeda, akhirnya Tuhan mendengar doa manusia-manusia yang mengeluh karena hujan yang tak kunjung datang dan kali ini Tuhan sedang tak main-main, ini adalah hujan dihari ketika dan tanpa jeda.

Pelangi yang dinanti oleh anak-anak yang berderet dibawah jendela sepertinya masih urung hadir, ya, hujan belum reda dan para bidadari barangkali takut kehujanan, bidadari takut kedinginan, bidadari takut terkena pilek, demam atau meriang, mungkin ditempat asalnya tidak ada apotek bahkan kios yang menyediakan obat. Apapun alasannya dan kapanpun datangnya pelangi tetap dinanti, bukan karena niat untuk mencuri selendang bidadari yang sedang turun kebumi untuk sekadar mandi namun lebih dari itu, pelangi bisa menjadi obat bagi petani untuk menghibur anaknya yang sedang lapar, mereka lapar akibat petani selalu gagal panen kerena kekeringan. Selain itu, selain membuat anak petani tersenyum, kehadiran pelangi pun akan sedikit menggembirakan petani karena hujan sudah reda, ladang dan sawah mereka yang sudah terendam banjir akibat hujan tiada henti perlahan sudah mulai memberikan harapan untuk bisa kembali digarap, tentunya dengan membuang air yang menggenangi sawah serta ladang mereka terlebih dahulu.

Malam ini, Pak Marhaen masih belum mampu tidur. Ia tak habis fikir, apakah doanya terlalu memaksa hingga Tuhan mengabulkannya seperti ini. Pak Marhaen bingung, jika ingin menyalahkan, siapa yang harus disalahkan untuk turunnya hujan tanpa henti ini. Toh hujan berbeda dengan pemandangan kabut asap kala kemarau kemarin. Meskipun tak lulus sekolah dasar, Pak Marhaen tahu bahwa kabut asap terjadi karena kebakaran, dan kebakaran terjadi karena ada yang membakar dan tak Cuma itu, Pak Marhaen juga tahu bahwa jika hanya membakar sampah, kabut asap tak mungkin setebal itu, dan Pak Marhaen juga tahu bahwa untuk orang sepertinya jika ingin menanam jutaan hektar sawit, seperti yang lagi musim, maka membakar lahan adalah cara yang paling tepat dan cepat, hingga akhirnya Pak Marhaen menyimpulkan bahwa hutan-hutan habis terbakar karena dibakar oleh orang yang hendak menanam sawit. Namun yang tak habis fikir oleh Pak Marhaen, apa iya hutan itu dibakar oleh orang sepertinya, kalau dituntut oleh negara, disuruh ganti rugi, mau bayar pakai apa? Apalagi menurutnya, negara ini pelit untuk orang-orang sepertinya, nebang pohon buat dijadikan kayu bakar atau patok dikebun saja bisa dipenjarakan, jadi mana berani orang-orang seperti Pak Marhaen “merusak” hutan.

Siaran Televisi beberapa minggu yang lalu akhirnya menjawab keresahan Pak Marhaen soal kebakaran hutan. Akhirnya Pak Marhaen tahu siapa mereka yang berani melakukan hal yang tak berani ia lakukan. Meskipun sempat kala kemarau lalu ada Perusahaan besar yang diberitakan menjadi pelaku dari pembakaran hutan didaerah Kalimantan sana, namun Pak Marhaen masih kurang percaya, apalagi perusahaan tersebut konon kabarnya milik salah seorang pengusaha sukses yang pernah ngerasa gimana hidup susah, kurang lebih seperti yang dia rasakan sekarang ini. Namun, setelah pemberitaan di televisi soal Negara gugat Perusahaan atas dugaan pembakaran hutan, barulah kemudian Pak Marhaen mulai menyusun kepercayaannya bahwa memang benar yang bakar hutan sudah jelas mereka yang punya uang banyak, apalagi terbukti bahwa Negara kalah dipengadilan, Hakim bilang bahwa “bakar hutan tidak merusak hutan karena masih bisa tumbuh lagi”, ah, sayangnya Pak Marhaen baru tahu sekarang, coba dari dulu sudah ia bakar hutan-hutan yang ada disekitar desanya.

Ya, yang membakar hutan pastilah mereka yang punya uang banyak, yang bisa lawan negara kalau negara keberatan atau setidaknya punya kenalan orang-orang yang kerjanya dipemerintah, minimal ada yang ngelindungin, karena kalau yang ngebakar hutan itu Pak Marhaen atau orang-orang sekelasnya, gak mungkin bisa ngalahin negara atau gak mungkin ada pejabat yang mau kenal dia, apalagi sampai nolongin.

Hari ini hujan yang ketiga, hujannya tak kunjung reda, mata Pak Marhaen mulai berkaca-kaca, tak bisa ia bayangkan jika hujan setiap harinya mengguyur, mau kerja apa dia? Bagaimana dapur bisa ngepul kembali, bagaimana bisa sekolahkan anak-anaknya?. Perasaan Pak Marhaen berkecamuk. Ia tak tahu siapa yang harus disalahkan, mau menyalahkan dirinya karena berdoa agar hujan turun, tapi toh itu sudah benar, karena ia juga tak mau mati kekeringan. Mau menyalahkan Tuhan karena memberikan kemarau panjang dan hujan yang saat ini turun tiada henti, ia takut dosa, takut masuk neraka, takut nanti disangka PKI, bisa-bisa mati dibakar warga dia nanti. Ah, Pak Marhaen harus bagaimana? Meskipun istrinya dengan setia terus menghibur hatinya, namun Pak Marhaen tahu bahwa istrinya juga butuh makan, istrinya juga butuh dihibur, setidaknya setiap pagi mampu memberikan jajan jika anaknya minta uang jajan buat disekolah.

Apa yang harus dilakukan Pak Marhaen? Mau ikut audisi di acara-acara tv tapi dia bisa apa? Nyanyi paling bisa Cuma nyanyi lagu Koes Plus atau Rhoma Irama, mau nyanyi lagu barat seperti yang lagi populer, boro-boro nyanyi lagu barat, bahasa Inggris aja Cuma tahu Yes dan No aja, udah gitu ia ingat betul kata istri dan anak-anaknya kalau ia nyanyi suaranya bagus, tetapi lebih bagus dan bijak lagi kalau dia diam aja, kalaupun mau menghibur diri, cukup siul-siul aja. Mau ikutan audisi pelawak atau stand up comedy kayak yang lagi musim sekarang, Pak Marhaen sadar diri kalau gak bisa ngelawak apalagi disuruh  berdiri didepan orang terus maksa orang buat ketawa. Ah, Pak Marhaen bingung bukan kepalang, bagaimana bisa bertani lagi besok, Pak Marhaen gundah gulana, jika masih juga hujan, dia harus berdoa apa kepada Tuhan agar yang dia mau itu bisa dikabulkan, Pak Marhaen galau jadi rakyat, tapi rasanya seperti tak punya Negara.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pandemi, Organisasi Mahasiswa, dan "Jadwal Molor" Pemira Unsera

Wisuda Drive Thru Unsera; Komersialisasi Pendidikan di Masa Pandemi

Kisah Fajar, Embun dan Senja