Pertemuan Dengan Mantan

"Jadi.. kamu apa kabar ?" katamu setelah kita yang akhirnya bisa bertemu.

Setelah sekian lama membuat janji untuk bertemu lagi, baru akhir-akhir ini kita bertemu setelah kamu melewati kesibukanmu yang brengsek itu. Iya, kamu dan segala sesuatu yang menghalangimu, terutama dia yang menjadi kesayanganmu. Seorang lelaki yang mempunyai nasib sangat beruntung bisa mendapatkanmu.

"Aku baik."

"Syukurlah. Maaf baru bisa bertemu sekarang, aku sibuk." katamu, yang seolah-olah menutupi kebohongan dibalik senyuman itu.

Sebagai masa lalu yang berakhir dengan baik, kami bertemu disuatu malam di bulan November. Kami bertemu layaknya pasangan yang sudah berakhir dan tumbuh dengan kisah yang berbeda, dia bersama dengan lelaki yang sangat ia sayangi, aku bersama dengan kenangan-kenangan yang membuatku dewasa. Selama ini, aku sering mengajaknya untuk bertemu lagi, membicarakan masa lalu dan melepas rindu. Tapi kenyataannya memang sangat berbanding terbalik apa yang aku inginkan. Dia menolak, selalu menolak dengan berbagai kebohongan klasik yang ia buat. Dia selalu berbohong untuk tidak menemuiku, dan ada sesuatu yang harus dia tau. Bahwa dia tidak pandai berbohong, terutama kepada seseorang yang masih menyayanginya.

"Aku cuma mau balikin ini." kataku, setelah mengeluarkan sebuah Novel dari dalam tas, dan menaruh Novel berjudul 'Dear You' karya Moammar Emka yang dia pinjamkan setelah 2 tahun yang berlalu, diatas meja.

"Kamu.. masih menyimpan ini ?"

"Masih, ini Novel kesayanganmu kan ?"

Dia melihat dengan tidak menjawab pertanyaanku, matanya kosong melihat Novel ini bagaikan melihat berbagai kenangan yang sekarang hilang dimakan waktu. Senyuman kaku dari bibirnya pun keluar dan mendadak bergetar seperti menahan sesuatu yang ingin keluar dari matanya.

"Kamu kenapa masih menyimpan ini ?"

"Karena aku masih sayang kamu."

Dia terkaget, dia memandangku dengan tatapan seakan tidak ingin mengetahui kenyataan yang sebenarnya ini. Dia melihat dengan dalam dan berusaha untuk membaca apa yang sedang aku pikirkan.

"Masih ? Sampai saat ini. Setelah 2 tahun lamanya, kamu masih ?"

"Iya, masih."
.
Dia diam, menunduk dan tidak mengeluarkan ekspresi. Jilbabnya yang hitam pekat menutupi sebagian wajahnya, suaranya tidak terdengar dan badannya serasa kaku tidak bergerak. Aku mengambil Iced Latte diatas meja, meminumnya sambil sesekali melihat ia yang tidak mengeluarkan suara.

"Aku mau minta maaf." katanya, setelah diam beberapa menit.

"Minta maaf ?"

"Iya, aku mau minta maaf. Selama ini aku bohong sama kamu."

"Aku tau."

"Kamu nggak tau."

"Aku tau semua kebohonganmu. Aku tau kamu berbohong saat aku mengajakmu bertemu, kamu selalu menolak karena kamu menghargai perasaan orang yang menjadi kesayanganmu itu, kan ? Aku tau kamu selalu menghindar setiap melihatku, aku tau kamu masih berharap kita bisa dekat seperti dulu, kan ? Bahkan aku tau, kamu sebenarnya tidak sayang kepada dia, kan ? Dia hanya kamu jadikan batu loncatan untuk kamu bisa melupakanku, tapi ternyata gagal. Iya, kan ?"

Dia menatapku dengan sangat tajam, emosinya terlihat keluar, tatapannya bergetar, matanya berair dan akhirnya air mata itu keluar. Untuk kesekian kalinya dia menangis dihadapanku, sesuatu yang sangat aku rindukan.

"Kamu memang sangat tau tentangku."

"Aku masih hafal jelas, semua kegiatanmu yang membosankan itu."

Dia masih menangis, tatapannya penuh dengan air mata yang beberapa kali ia coba hapus tapi tidak berguna. Pertahannya selama bertahun-tahun itu mendadak hancur, air matanya keluar tanpa persetujuan logika, kebohongan yang ia anggap sangat rapi itu pun terbongkar.

"Tapi.. kamu kemana selama ini ? Kemana kamu saat aku butuh seseorang, kamana kamu saat aku butuh didengarkan, kemana kamu saat aku butuh orang untuk dibanggakan ? Kemana kamu.. Lelaki yang masih aku sayangi ? Kemana semua perhatianmu, kemana kamu saat aku butuh sebuah harapan ?"

Aku diam, membiarkanmu berbicara tentang semua emosi yang ada didalam hatimu itu. Aku ingin sesekali menjawab, tapi aku tidak berhak, karena yang ia bilang semua benar. Aku tidak bisa, bahkan aku tidak ada ketika ia menangis semaleman karena tidak kuat menahan semua kebohongan yang ia cipta.

"Kamu tidak ada, kamu tidak pernah tau ini semua." lanjutmu, dengan air mata yang masih belum dihapus, mengalir begitu saja dikedua pipi lembut berwarna putih itu.

Pertemuan selalu menjanjikan canda tawa, kebahagiaan, kesedihan bahkan air mata itu semua tidak lepas, bahkan dengan kami yang hanya sekedar masa lalu. Aku dan dia masa lalu yang saling menginginkan, dan memilih untuk tidak bersama lagi.

Aku tidak ada saat kamu sedang seperti ini karena aku, aku hanya seseorang yang tidak pantas bersamamu. Sesorang lelaki yang masih sering melirik perempuan lain, menggodanya, lalu mendekatinya diam-diam. Berbeda denganmu, seorang perempuan yang benar-benar kuat, mempunyai hati yang sangat lembut dan sabar yang melewati batas.

"Aku nggak bisa lagi, jagain kamu." jawabku setelah ia melontarkan banyaknya pertanyaan yang masih berputar-putar didalam kepala ini.

"Aku tau itu. Tapi aku masih sayang sama kamu. Bodoh." jawabnya sambil menyeka air matanya sendiri.

Ketika jatuh cinta lebih mudah ketimbang mengucapkan kara maaf. Itulah yang mungkin aku rasakan selama ini. Mungkin bangku dan meja ini akan membicarakan kita sebagai masa lalu yang selalu berakhir dengan perdebatan dan air mata. Kami adalah dua orang yang sama-sama tidak ingin mengalah, sama-sama tidak ingin kembali dan masih saling menginginkan. Keadaan memang seburuk ini, kenyataan barangkali terlalu pedih untuk terjadi.

"Aku harus pergi." katamu.

"Sesingkat ini kita bertemu ?"

"Iya, makin lama aku disini, makin aku pengin balik lagi ke kamu. Dan semakin aku menuruti itu semua, ada orang lain yang akan terluka nantinya. Cukup aku dan kamu aja yang merasakan ini, jangan dia."

"Aku paham itu."

Dia lalu meminum Frappe dengan sekali tegukan, memasukan Novel yang aku kembalikan kedalam tasnya, dan berdiri dengan tegak seakan bersiap meninggalkan.

"Kamu harus tau, aku selalu sayang kamu. Dan terimakasih banyak, karena kamu tidak pernah berhenti berharap kepadaku."

Dia perlahan pergi, melangkahkan laki tanpa menengok ke belakang. Ia seakan sanggup melangkah kedepan, ia seakan sanggup menjalani kebohongan yang ia ciptakan selama ini. Dan dia benar-benar kuat.

Aku diam, menatap segelas Iced Latte dihadapanku, sambil berharap kamu masih berada didepan dan aku bisa melihat senyuman itu. Pikiranku mengawang kepada semua kata-katamu barusan, mendadak keluar kata yang belum sempat aku ucapkan kepadamu, yaitu ;

"Terimakasih, telah membuatku berharap sampai saat ini."

Untuk seseorang yang mempunyai suara seperti anak kecil ketika sedang manja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pandemi, Organisasi Mahasiswa, dan "Jadwal Molor" Pemira Unsera

Wisuda Drive Thru Unsera; Komersialisasi Pendidikan di Masa Pandemi

Kisah Fajar, Embun dan Senja