Mencintai yang Telah Mati
Pernahkah kamu mencintai orang yang telah mati? Pertanyaan ini sederhana tetapi cukup menggelitik isi kepala. Bila mencintai sampai mati mungkin jawabannya pernah, sebab dia pernah hidup dan kita telah mengenalnya. Barulah setelah itu dia mati meninggalkan banyak kenangan yang membekas dan hal itu membuat kita masih mencintainya. Tetapi jika manusia tersebut meninggal dunia terlebih dahulu lalu kita mencintainya, pernahkah?
Pada hakikatnya apa sih yang membuat kita jatuh cinta kepada seseorang? Apakah fisiknya, ketampanan atau kecantikannya? Aku tidak munafik bahwasanya fisik seseorang cukup mempengaruhi orang lain untuk jatuh cinta kepadanya. Maka tak heran ada ungkapan cinta pada pandangan pertama. Ungkapan itu benar adanya, bukan sekedar kalimat klise yang mempermanis kata. Namun tidak semua orang pernah mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama.
Lalu perlu kita ingat bahwa memang fisik cukup berpengaruh, tetapi sayangnya itu hanya berlaku sementara. Waktu dan usia perlahan-lahan akan merenggut keindahan secara fisik. Jadi bukan itu alasan mendasar kenapa manusia bisa jatuh cinta bahkan dengan waktu yang lama.
Secara tidak kita sadari ketika seorang manusia jatuh cinta, ia tidak hanya mencintai sosoknya sebagai wujud manusia saja. Lebih dari itu, kita mencintai sikapnya, kelembutannya, selera humornya, caranya mengambil sudut pandang dari suatu hal bahkan mencintai caranya berpikir serta memandang dunia. Kita mencintai pemikirannya, jiwanya, dunianya dan secara tidak sadari alam bawah sadar kita akhirnya jatuh ke sana.
Pernahkah kamu mencintai orang mati? Aku sendiri pernah. Bahkan, cukup sering aku mengalaminya. Aku mencintai beberapa orang yang telah meninggal yang mana kebanyakan dari mereka tak pernah aku temui sepanjang hidupku. Aku mencintai mereka yang telah jauh-jauh hari tiada sebelum aku sendiri ada. Bung Karno, Kartini, Pramoedya Ananta Toer, Soe Hok Gie serta Tan Malaka adalah segelintir orang yang kucintai dengan segenap hati . Lihat sendiri kan? Aku mencintai mereka padahal aku tak pernah melihat mereka dengan mata kepalaku sendiri.
Lalu bagaimana bisa? Bukankah aku tak mengenal mereka? Memang aku tak mengenal mereka secara fisik, tetapi aku mengenal secara pemikiran dan cara mereka memandang dunia. Kemudian aku jatuh cinta, sesederhana itu. Satu hal, aku mencintai mereka karena mereka menulis. Mereka mengabadikan pemikirannya melalui tulisan yang secara turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi. Bung Karno dengan Panca Azimat Revolusinya, Ibu Kartini dengan Habis Gelap Terbitlah Terangnya, kumpulan surat-surat beliau yang dibukukan, Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Burunya, Soe Hok Gie dengan Catatan Hariannya serta Tan Malaka dengan Madilog dan Aksi Massanya .
“Menulislah nak”, ini adalah sebuah pesan singkat dari para leluhur. Sebuah nasehat sederhana yang pengaruhnya tak sesederhana itu. Menulislah nak, maka kau akan hidup di alam keabadian. Menulislah nak, agar kelak hanya tubuhmu yang membusuk namun pemikiran dan jiwamu tetap hadir bersama mereka yang membacanya. Menulislah nak, maka kau akan dicintai selama-lamanya bahkan oleh orang yang tak pernah kau temui sepanjang hidupmu. Ini adalah sebuah pesan dari yang mati raganyanya, tetapi jiwanya tetap mengangkasa dibalik lembaran-lembaran kertas hasil buah pikirnya selama ini.
Kau tahu mengapa aku sayang kau lebih dari siapapun? Sebab kau menulis. Suaramu takkan padam diterpa angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. -Pramoedya Ananta Toer-
Serang, 10 April 2017
Komentar
Posting Komentar