Membayangkan Bersama Gie di Pantai
Saya membayangkan sedang bersama Gie. Kami berdiri di tepi pantai, memandang ombak yang bergulung-gulung. Setahuku pantai adalah salah satu tempat favorit Gie, selain Pangrango tentunya. Baginya Pangrango adalah lambang keberanian yang selalu ia cintai.
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
karena aku cinta pada keberanian hidup
Begitulah ia melukiskan kecintaannya pada gunung itu.
Namun pantai adalah tempat ia pertama kali bertemu dengan keindahan alam. Tempat pertama ia habiskan keceriaan bersama sahabatnya, Han. Waktu itu mereka berlari berkejaran menerjang ombak.
Entah karena teringat dengan Han, atau entah karena apa, wajahnya terlihat muram. Aku bingung dibuatnya. Mau ku ajak ngobrol –mungkin tentang wanita, aku sungkan. Ia hanya memandang lurus ke depan, ke hamparan ombak yang tak henti-hentinya bergulung.
“Aku heran dengan mahasiswa sekarang,” katanya tiba-tiba. Seakan-akan ia bisa membaca pikiranku yang heran dengan sikap diamnya.
“Maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
“Waktu aku seusiamu, kondisi politik semakin tak menentu. Kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah selalu berakibat buruk pada rakyat. Demokrasi yang menjunjung kebebasan, dikunci oleh istilah ‘demokrasi terpimpin.’ Keadaan begitu tak bersahabat,” katanya.
Ya, memang pernah aku membaca sejarah bangsa ini. Gie, kau hidup pada masa dimana hanya ada satu ideologi revolusioner. Pembangunan diarahkan pada ideology semata, melupakan aspek lainnya. Alhasil, kondisi politik yang jadi tak menentu berujung pada kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan.
“Kenapa mahasiswa dengan kondisi yang terbuka ini malah tak berbuat apa-apa? Mengapa mahasiswa malah sibuk mengejar nilai kuliah semata dan menistakan pengalaman di luar? Mengapa mahasiswa tak mampu beraksi apa-apa menghadapi bangsa yang sedang sakit ini?” katamu.
“Kau terus bertanya ‘mengapa,’ Gie,” ujarku padamu. Tampangku sebal mendengar keluhmu. Bukannya aku tak setuju denganmu. Bukan. Justru sebaliknya. Aku sangat setuju denganmu, Gie. Hanya saja kata-katamu menghujam dalam hatiku.
Aku tak siap dengan cercaanmu. Karena aku adalah bagian dari mahasiswa itu sendiri. Maka pertanyaanmu terdengar seperti ejekan bagiku.
“Maaf, kalau aku menyinggungmu. Aku hanya bingung dengan kalian.”
“Tak apa, Gie. Aku mengerti. Aku hanya menyesali diri sendiri, yang tak mampu berbuat apa-apa untuk mengubah keadaan ini.”
Kau menoleh padaku. Sambil tesenyum kau mengatakan bahwa hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawa. Terimalah dan hadapilah.
Ah, apakah aku memilki keberanian itu? Untuk berhadapan dengan dosen saja kadang aku gemetaran, bagaimana mungkin aku berani berhadapan dengan penguasa yang zalim?
Aku merasa kecil sekali di hadapan lautan, dan kekuasaan yang mencengkeram negeri ini.
“Bantu aku untuk berani, Gie. Kau sudah pernah menantang Bung Karno. Kau juga tantang Pak Harto. Kau punya keberanian luar biasa, Gie. Bantu aku untuk punya keberanian sepertimu,” kataku.
Kau terdiam. Seolah tenggelam dalam kenangan masa mudamu dulu. Mungkin mencoba mencari jawaban yang cocok.
Pelan-pelan buih-buih ombak menyentuh kaki kita.
“Aku tak bisa membantumu,” akhirnya kau berkata setelah aku terus mendesakmu dengan mata merajuk. Mungkin kau kasihan melihat wajahku.
Kau rangkulkan tangamu ke pundakku. Aku bisa mencium bau badanmu. Bau matahari, mungkin karena seringnya kau turun ke jalan. Dengan suara penuh perhatian layaknya seorang ayah kepada anaknya, kau berkata, “Setiap orang punya sumber keberanian sendiri. Yang berbeda dari orang lain. Yang harus kau lakukan adalah terus mencari. Carilah sumber keberanianmu sendiri. Carilah! Tanyalah! Maka kau akan punya kekuatan yang berasal dari dalam dirimu. Bukan dari orang lain. Dan ingat satu hal, keberanian bukanlah tanpa rasa takut.”
Aku membayangkan sedang bersamamu, Gie. Ya, aku membayangkan keherananmu melihat kondisi bangsa ini. Dan penyesalanmu yang tak punya cukup waktu untuk mengubahnya. Biarkan bayangmu menuntunku. Dan kata-katamu menghantuiku.
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah umur tua.
Rasa-rasanya memang begitu.
Bahagialah mereka yang mati muda
yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah umur tua.
Rasa-rasanya memang begitu.
Bahagialah mereka yang mati muda
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan”
Mungkin kau salah, Gie. Yang terbaik adalah dilahirkan dan menjadi gelombang perubahan kemanfaatan bagi orang lain, bagi bangsa ini.
Komentar
Posting Komentar