Hai, kali ini suratku sengaja dibuat sebagai tanda ucapan terimakasihku ke kamu.
Mungkin bagimu sudah biasa. Tapi kali ini berbeda, aku sedang nggak bisa memberikanmu banyak cokelat, es krim, dan makanan kesukaanmu. Kali ini aku mau menuliskanmu surat aja. Nggak apapakan?
Kamu, terimakasih ya karena sudah mau berproses sejauh ini. Terimakasih karena sudah berani mengambil banyak keputusan yang tidak mudah untuk dirimu sendiri. Terimakasih karena sudah mau berjuang mempertahankan apapun yang layak dipertahankan. Terimakasih karena sudah mau mengikhlaskan apa-apa yang memang seharusnya dilepaskan. Terimakasih karena sudah tidak mudah terpuruk. Terimakasih sudah dengan sekuat tenaga melawan kemalasanmu. Terimakasih sudah mau melakukan banyak hal untuk orang lain. Terimakasih karena kamu sudah berani bertahan.
Maaf karena ternyata dunia ini tidak selalu baik untukmu. Maaf atas hari-harimu yang berat waktu itu. Maaf atas kesedihanmu yang tidak pernah terungkapkan. Maaf atas segala ceritamu yang akhirnya harus kau pendam dalam-dalam. Maaf atas ketidakmampuanku dan orang lain memahamimu hingga kau harus susah payah menutupi setiap kekurangan dan kekhawatiranmu yang semakin hari semakin menjadi. Maaf atas cita dan cintamu yang pernah sangat kau pertahankan dan kini harus dengan rela kamu lepaskan. Tapi, dunia ini belum berakhir bukan? Sekarang aku ingin katakan, kalau kamu ingin menangis, menangislah. Sampai sesegukan pun aku nggak masalah. Aku akan mendengarkan. Aku nggak mau lagi membuatmu berpikiran bahwa menangis berarti menunjukkan kelemahan. Tidak sama sekali. Menangis itu menguatkanmu. Menangislah, bersamaku. Jangan menangis sendirian, ya?
Lihat deh ke dinding kamarmu itu. Amanahmu masih banyak yang belum selesai, kan? Mimpimu masih banyak yang menggantung, kan? Kalau begitu, bangunlah. Kalau amanah itu belum bisa menjagamu dari hal-hal dan pikiran nggak bermanfaat atau bahkan buruk, ya percaya dan beranikan dirimu untuk mengambil kesibukan lain. Boleh kan aku bilang bahwa kamu harus cari kesibukan sebanyak mungkin, sampai kamu benar-benar nggak punya waktu untuk mengumpulkan kata-kata dan lagu sedih di handphone-mu? Bergeraklah, ayo kita menyibukkan diri, kamu harus berubah. Yang kemarin itu sudah cukup. Kamu harus menunjukkan bahwa kamu lebih daripada itu. Patah hati, kehilangan, perpisahan, kegagalan, entah apapun itu, seharusnya nggak membuatmu berhenti. Ada kebaikan lain; bentuknya dalam rupa orang baik dan kesempatan baik, yang jauh bisa menerimamu dan membuatmu menjadi versi terbaik dirimu. Membantumu untuk naik ke tingkat yang jauh lebih baik dari dirimu yang lalu.
Sudah cukup ya sedih dan kecewanya? Inilah waktunya kita berjalan. Jangan menengok ke belakang jika dengan cara itu membuatmu lupa bersyukur dengan apa yang ada sekarang. Begitu kan kesepakatan kita? Berjalanlah, jangan berhenti!
Maafkan aku ya, karena surat ini seharusnya kukirimi dari jauh-jauh hari. Tapi kan aku tidak bisa menuliskannya sendiri. Dan hari ini aku memaksamu untuk menuliskannya, terimakasih ya.”
Dari hati; untuk dirinya sendiri.
Komentar
Posting Komentar