Ketika aktivis kampus berada dalam titik jenuh

Bahwa hidup tidak dihitung dari jumlah peluh yang mengalir di pelipismu.
Hidup, terhitung dari seberapa banyak ikhlas yang kamu rajut. Dan bisa terasa hangatnya oleh orang lain tanpa kamu mengatakannya.

Serang 2018 -- Suatu hari seperti awan kelabu, seorang lelaki aktifis kampus duduk di pelataran gedung kampus yang sepi. Jam menunjukan pukul empat sore.  Ia melepas jaket organisasinya dengan kesal sambil mengatakan pada sahabatnya tentang keadaan hatinya.

Hari ini aku lelah, aku ingin berhenti dari pergerakan ini. Segalanya menuntut prioritasku, kehadiranku dan kontribusiku tanpa peduli dengan keadaanku, serta kondisi yang ku alami.” Ia menangis sesegukan dengan mata yang sungguh merah dan bengkak.

 “Aku merasakan seolah hanya aku yang seberdarah-darah ini, hanya aku yang tertinggal pelajarannya, hanya aku yang rela diseperti inikan

Ya sudah, buang saja jaket itu, jangan dipakai lagi. Menghilanglah dari peredaran jika kamu kecewa”, ujar sahabatnya.

Lelaki itu menggeleng “Aku tidak ingin berada di barisan sakit hati”

Sahabatnya justru langsung bergerak dan mengambil jaket merah hati berlogo organisasi yang diikutinya. Kaki lenjang yang tertutupi celana cokelat bergegas menuruni tangga, dan membuangnya ke tempat sampah, jika tidak langsung lelaki itu mengejarnya dan merebut jaket itu. Dipeluknya jaket yang hampir dibuang itu.

Kenapa denganmu?” tanyanya pada sahabatnya yang hampir saja membuang jaket kesayangannya.

Seharusnya aku yang bertanya, kenapa denganmu?.

Tidak usah sampai membuang jaket ini, kamu keterlaluan!”

“Kamu mengganggapku keterlaluan? Padahal aku hanya peduli padamu. Kamu menganggap kamu yang berdarah-darah sendirian, padahal mungkin banyak yang ingin membantumu, hanya saja mereka bingung ingin membantu seperti apa karena hanya kamu yang mengerti cara melakukannya. Kamu menganggap mereka tak mau melakukannya, padahal kamu sendiri tidak pernah menjelaskan secara lengkap pada mereka bagaimana cara melakukannya. Intinya sekarang bukan pada lelahmu, tapi pada prasangka buruk yang ada di hatimu. Pada ikhlas yang seringkali kamu katakan untuk diketahui. Pada kesempurnaan yang selalu kamu harapkan untuk dilihat orang lain dari dirimu”

Dan jaket ini adalah sebagian dari kesempurnaan yang selalu kamu banggakan
Lelaki itu menunduk, air matanya jatuh kali ini dengan nafas yang begitu tenang. Ia memandang sahabatnya dengan tatapan menyerah kalah.
Sadarkah wahai hati, yang kadang selalu memenangkan pandangan diri? Mengira ikhlas padahal tidak. Mengira mereka jahat padahal tidak. Mengira keadaan tak berpihak pada hidup, padahal hati dan jiwa lah yang tak pernah benar-benar hidup untuk memahami keadaan. Mungkin saat ini hati menjadi yang terlalu sering berburuk sangka, hingga melihat saudaranya dengan tulus, tanpa tujuan lain selain tentang amanah pun enggan. Menjadi hati yang terlalu sering membuat orang lain bertanya-tanya harus melakukan apa. Menjadi hati yang selalu menilai apa yang bisa kita lakukan dan tidak bisa mereka lakukan. Hati yang selalu ingin dinilai dari apa yang sudah dilakukannya. Hati yang seringkali lupa, bahwa hidup ini bukan hanya tentang penilaian.

Aku tidak ingin kamu atau aku menjadi penebar duri” ujar sahabatnya sambil memeluk lelaki itu yang kini telah rapih kembali dengan jaket organisasi di badannya. “Para penebar duri mengisi kehidupan mereka dengan sebuah tugas maha penting yang mereka lakukan, untuk mengecilkan orang lain yang tidak melakukan sepertinya. Mereka ada untuk menyampaikan kelemahan-kelemahan yang ada pada seseorang dan membuat orang lain percaya bahwa selain dirinya tak layak dan tak punya kebaikan. Mereka mengungkapkan sejuta hal untuk meyakinkan seorang sahabat bahwa orang lain selain dirinya yang tak berkontribusi tertakdir menjadi sampah. Mereka membawakan segala mimpi buruk untuk dirinya sendiri di masa depan”

“Percayalah, apa yang telah kita dapatkan sekarang adalah apa yang terbaik, jika mungkin bukan untuk sekarang, mungkin untuk masa depan kelak. Amanah apapun yang kita emban bukanlah sesuatu yang memberatkan, karena esensinya adalah pembelajaran yang tak pernah putus tentang bagaimana cara memahami diri kita sendiri dalam menghadapi berbagai tekanan. Dari setiap amanah kita belajar, bukan dari setiap amanah kita mengeluh berat. Karena mengeluh bukanlah penyelesaian, namun hanya pelengkap lelah dan beban yang menukar rasa syukur dengan penyesalan.” Sahabatnya menyeka air mata aktivis itu dengan perlahan. Dengan haru lelaki itu tersenyum, senyuman terimakasih yang begitu pedih.

“Terimakasih telah menjadi yang masih memeluk di saat tau siapa aku sebenarnya, di saat ternyata ada ketidaktulusan di hatiku, ada noda yang mungkin telah berkarat.. Terimakasih karena selalu mengingatkan, meski nyatanya iman ini masih saja terus berlubang-lubang”
***
kitalah yang sebenarnya membutuhkan jalan perjuangan ini, kitalah yang memerlukan jalan ini untuk merasakan anginnya berjuang, kitalah yang membutuhkan jalan ini untuk senantiasa saling terhubung, dalam ikatan yang disebut dengan romantisme perjuangan.

Terkadang lelah itu saling menghinggapi, terkadang jenuh itu saling menghinggapi, terkadang air mata itu tak tertahankan dan peluh terus menetes. Namun, kita tahu pasti kita akan selalu ada untuk menggenggam tangan ini, untuk memberikan sandaran, untuk memberikan senyuman paling hangat, dan untuk menghapus air mata ini. Memberikan cinta penawar luka. Kita akan terus berjalan di jalan ini, mencari puing-puing berserakan, menyusunnya dalam sebuah kumpulan mozaik indah untuk fakultas, untuk almamater, dan untuk bangsa kita. Untuk sekedar sebuah torehan indah dalam episode hidup.

Inilah jalan hidup kita, jalan cahaya yang penuh cinta. Karena hanya atas dasar inilah kita, aku dan kau, dapat berjalan bersama.

Perjalanan anak manusia yang mencari makna hidup di dunia. Hamparan krikil tajam tak menciutkan langkah kaki, entah kapan kaki ini berhenti melangkah, terlalu takut terlena disaat waktu semakin sempit. Terasa berat sekedar berhenti untuk meneguk air dan merasakan semilir angin di bawah rindangnya pohon.
Resah akan ketidakpastian menjadi bekal ketika diserang haus dan lapar, sampai nanti akhirnya merasakan manis dari segala kelelahan
.

Jangan Mengeluh, La Yukalifullahu Nafsan Illa Wus’ahha
Jika masih mengeluh tanyakan ikhlasmu. Bukankah ikhlas adalah korelasi yang paling kuat untuk mengukur kadar keluh dan kadar syukur.

*cerpen fiksi yang dikemas secara implisit


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pandemi, Organisasi Mahasiswa, dan "Jadwal Molor" Pemira Unsera

Wisuda Drive Thru Unsera; Komersialisasi Pendidikan di Masa Pandemi

Kisah Fajar, Embun dan Senja