Analisis Aksi Massa Gerakan September


Apa yang melandasi aksi-aksi protes begitu cepat ter-kapitalisasi, atau bahasa sederhananya, kok bisa tiba-tiba banyak orang ikut aksi?
Dari pengamatan pribadi saya, berdasarkan berbagai sumber yang saya baca dan ikuti, gelombang aksi bermuara pada isu pelemahan KPK melalui RUU KPK yang dianggap menggembosi Otoritas KPK dalam memberantas Korupsi

Sejauh ini, KPK di mata masyarakat adalah simbol bagi pemberantasan korupsi. Meskipun sebagian masyarakat juga menilai, ada atau tidak adanya KPK korupsi tetap akan terjadi di Indonesia. Korupsi oleh masyarakat Indonesia sudah pandang sebagai budaya yang sudah berurat-berakar di dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di dalam lembaga pemerintahan. Meski demikian, KPK tetap dipandang sebagai lembaga yang- jika tidak bisa memberantas keseluruhan, paling tidak sebagia,  bisa melawan korupsi di Indonesia. Selain itu, track record KPK belakangan, juga membuat elit elit politik merasa terganggu. Mulai dari operasi tangkap tangan yang menjerat ratusan pejabat daerah dan kepala-kepala daerah pengumuman caleg-caleg mantan koruptor, hingga publikasi partai-partai yang anggotanya terlibat kasus korupsi. Pada intinya, track record KPK belakangan, memperlihatkan betapa bobroknya pejabat-pejabat negara termasuk anggota-anggota DPR, hingga partai-partai politik di Indonesia. Semua elemen ini, tidak pernah dan sudah memang pasti, tidak akan pernah serius melawan korupsi. Baik rezim yang berkuasa, maupun mereka yang mengklaim diri sebagai kelompok oposisi.

Di sahkan nya RUU KPK oleh DPR, yang tentu saja "tanpa terkecuali", saya tekankan lagi, "tanpa terkecuali", Dengan waktu yang sangat singkat, semakin memperlihatkan bahwa pembelahan politik dalam pemilu terakhir adalah sirkus demokrasi para pemodal. Debat-debat, manuver-manuver politik oleh dua kubu, hanyalah pertunjukan drama yang berusaha menipu rakyat tentang Demokrasi. Pada akhirnya semua kubu yang membelah rakyat sebelumnya, ikut serta mengesahkan RUU KPK. Di sinilah polarisasi yang sebenarnya terbuka: Rakyat vs Negara beserta seluruh perangkatnya (Presiden, DPR-MPR, Militer, Hakim, Pemilik-pemilik Media Arus Utama dan Ormas-ormas reaksioner).

Kemarahan massa sebenarnya memiliki kemiripan dengan gelombang demonstrasi yang memicu aksi massa di tahun 1998. Aksi massa yang berakhir pada lengsernya soeharto juga dipicu oleh (salah satunya) issu KKN yang menjadi penyebab kesenjangan sosial di dalam Negeri. Pemerintahan Soeharto tumbuh diatas praktek-praktek KKN dan pemberangusan Demokrasi sebagai tameng. Tidak heran, KPK disimbolkan sebagai produk Reformasi. Dengan demikian ketika KPK digembosi, maka kampanye bahwa babak orde Baru jilid dua telah dimulai, dengan cepat ditangkap oleh kaum muda.

Pertanyaanya kenapa lagi-lagi kaum muda? Karena memang diantara kelompok-kelompok sosial yang ada, kaum muda, khususnya pelajar-mahasiswa, adalah elemen yang paling cepat menangkap krisis politik. Sebabnya sangat jelas, karena mereka memiliki banyak waktu luang untuk belajar dan membaca perkembangan sosial-ekomoni-politik.

Kembali ke pertanyaan awal, jadi menurut saya, apa yang membuat gelombang aksi begitu cepat ter-kapitalisasi?

Pertama karena seluruh representasi Negara, khususnya DPR (yang di dalamnya terdapat semua kubu yang bertarung dalam pilpres 2019) semakin memperlihatkan sikap terhadap anti korupsi, sebagaimana Pemerintahan Soeharto. Hal ini memicu kemarakahan rakyat khususnya kaum muda secara spontan menjadi gelombang aksi massa yang membuat negara dan elit-elit politik kelabakan.

Kedua, Rakyat semakin sadar,
bahwa pemerintahan yang berkuasa, DPR dan partai-partai politik, sudah tidak bisa dipercaya lagi. Tidak bisa lagi menitipkan nasib dengan cara-cara mediasi. Satu-satunya jalan adalah, aksi massa !!!

Sebagai catatan, bahwa isu KPK hanya salah satu yang memicu gelombang aksi kaum muda dan elemen rakyat lainnya. RUU-KUHP, RUU-Minerba, kriminalisasi pejuang-pejuang Demokrasi, desakan penetapan RUU-PKS dan berbagai rancangan produk undang-undang lainnya, juga menjadi bagian penting yang mendorong gelombang aksi besar-besaran beberapa waktu belakangan.

Lalu Apa?

Tetapi, ada pertanyaan penting, dan menurut saya sangat serius, yang perlu dijawab oleh gerakan kaum muda dan elemen gerakan lainnya. Dibalik semua gegap-gempita aksi massa di berbagai daerah, Mosi Tidak Percaya telah dikumandangkan. Ini artinya secara simbolik, gerakan telah mengajak rakyat untuk tidak lagi percaya pada DPR dan seluruh partai politik. Pertanyaan yang harus di jawab oleh gerakan: Siapa yang akan menggantikan kekuasaan? Partai seperti apakah yang diperlukan? Apa alternatif yang akan di tawarkan oleh gerakan?

Jawaban atas pertanyaan ini sangat menentukan arah perjuangan kaum muda dan seluruh elemen rakyat selanjutnya. Ketika gelombang aksi 1998 berhasil melengserkan Soeharto. Pertanyaan ini gagal di jawab dengan tepat. Inilah yang melahirkan Reformasi. Ini juga lah yang menyebabkan situasi yang sama kembali terulang di rezim-rezim setelahnya hingga hari ini.

Pertanyaan ini harus di jawab dengan serius. Tentu saja bukan dengan selogan-selogan kosong tentang perubahan. Atau kata-kata kritis tanpa analisis ilmiah dan pendekatan historis. Jika gerakan kaum muda gagal menjawab dengan tepat pertanyaan tersebut, kita hanya akan mengulang sejarah yang sama. Dalam Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, Karl Marx menulis, ‘Sejarah selalu berulang pada dirinya sendiri, ‘pertama sebagai tragedi, kemudian menjadi lelucon’

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pandemi, Organisasi Mahasiswa, dan "Jadwal Molor" Pemira Unsera

Wisuda Drive Thru Unsera; Komersialisasi Pendidikan di Masa Pandemi

Kisah Fajar, Embun dan Senja