Hegemoni Pembangunan RCH; Gedung Baru yang Konon Berstandar Internasional



Berdiri megah bak Harvard University, saat ini Universitas Serang Raya (Unsera) telah merampungkan pembangunan gedung C yang bernama Rachmatoellah Centre Hall (RCH). Gedung yang "konon" berstandar Internasional ini diharapkan mampu mendongkrak animo masyarakat (calon mahasiswa) untuk studi lanjut di kampus ini.

Menjadi hal yang paradoks, laju pembangunan kampus kian menjauh meninggalkan marwahnya sebagai lembaga pendidikan, cara membangun kampus tidak jauh beda dengan cara negara memaknai pembangunan, tolak ukurnya sama yakni infrastruktur, dengan tujuan agar lebih banyak menarik investor dan cocok untuk permintaan pasar.

Corak pembangunan yang seperti ini tentu tidak terlepas dari sistem ekonomi yang dijalankan, kapitalisme. Maka konsekuensinya adalah segalah hal yang tidak menguntungkan sistem akan dibabat habis, maka segalah cara digunakan mulai yang paling halus melalui aparatus ideologi sampai yang paling kasar menggunakan aparatus represif negara. Hasilnya, pembangunan digencarkan dimana-mana, membangun apa saja dengan dalih kepentingan bersama, namun yang diuntungkan adalah segelintir.
Begitupun dalam kampus, meski pembangunan dalam kampus memang gencar, namun selalu membingukan. Membingungkan dalam hal diperuntuhkan untuk apa dan untuk siapa pembangunan itu. Membingungkan memang, sebab sedari awal paradigma pembangunan yang dipakai bukan bertujuan untuk kepentingan bersama dan bukan diperuntukan sepenuhnya untuk pendidikan. Akarnya selalu sama, disebabkan virus kapitalisme menjalar kemana-mana termasuk kedalam kampus, yang kemudian mempengaruhi orientasi pembangunan dalam kampus, yang seyogyanya diperuntuhkan untuk menunjang pendidikan dan mengembangkan pengetahuan agar dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kemudian berubah haluan, kampus menjadi hambah setia sistem kapitalisme, dan semakin memperkukuh posisi sistem yang menindas tersebut. Jika tak percaya cobalah lihat bagaimana kampus semakin memperparah kesenjangan, menaikaan harga SPP sehingga yang dapat mengenyam pendidikan cuma kelas menegah keatas, sedang si miskin dimana? menjadi pecudang dan dipecundangi oleh sistem kemudian dituduh sebagai penyakit sosial dan penghambat kemajuan oleh kampus sendiri.

Alhasil kebijakan pembangunan kampus-pun semakin kehilangan orientasi, lebih sibuk membangun dan  mempercantik gedung yang sebenarnya sifatnya sekunder dalam kampus. Sementara lupa membenahi buku-buku perpustakaan, menjamin kualitas dosen pengajar, dan pelayanan akademik. Mungkin pengambil kebijakan lupa bahwa kampus adalah lembaga pendidikan bukan tempat wisata. Hasilnya yang terlihat sekarang, kampus lebih nampak taman wisata dari pada gelanggang dimana pengetahuan dan wacana saling diadu, ruang-ruang kampus tidak lagi disi dengan diskusi tentang masalah yang ada melainkan cengkraman asyik ditempat makan yang nyaman, atau spot instagrammable yang lebih mirip kumpulan borjuas kecil.

Dikutip dari web unsera.ac.id, gedung baru yang disebut RCH ini digadang-gadang akan menjadi gedung megah untuk pertemuan-pertemuan besar yang mengacu pada bangunan modern di Eropa.

Orientasi pembangunan yang lebih mementingkan hal-hal sekunder seperti itu berdampak pada kehidupan akademik kampus. Mental kita sebagai mahasiswa semakin tertiup kedalam, mengerdil. Hasilnya kita menganggap apa yang ada dan apa yang kita rasakan adalah hal-hal yang memang wajar untuk terjadi, mungkin kesadaran seperti ini terbentuk sebab kita tidak pernah benar-benar merasakan perasaan orang-orang yang ditindas, sebab kita sedari awal dan sampai saat ini terus dinina bobokan oleh kondisi kampus yang seolah membuat kita nyaman, namun tanpa disadari bahwa itu semua hanya ilusi belaka yang dibuat oleh penguasa untuk kepentingan mereka, yang dalam istilah Gramsci disebut hegemoni.

Pembangunan kampus yang seperti ini melupakan hal yang paling fundamental, yakni membentuk mahasiswa melalui literasi. Sebab dalam kampus, budaya literasi semakin ditinggalkan, buku-buku yang dipajang di rak-rak buku adalah  buku-buku usam yang sudah lama tak diperbaharui, belum lagi buku yang digunakan untuk pengajaran, bahasa yang kaku, dan tidak menantang imajinasi pembaca merupakan bukti bahwa kampus tidak benar-benar memerhatikan pembangunan literasi. Ditambah lagi bagaimana pengajar-pengajar yang tidak serius mengajar dan lebih mementingkan kebutuhan administratif, dianggapnya mendidik hanyalah sebatas mendampingi diskusi dikelas, tanpa tauladan, tanpa contoh bagaimana seharusnya tujuan etis ilmu diaplikasikantanpa bermaksud melakukan generaslisasi, sebab tentu masih ada dosen yang masih berjuang sampai sekarang -, tentu adalah hal yang mengerikan bagaimana dosen-dosen kita tidak berbuat apa-apa atau memang tidak berdaya menghadapi rezim yang menindas, mereka hanyut dan mengamini keadaan, padahal dalam kelas, khotbahnya tentang keadilan, kebenaran dan lain-lainnya membara.

Keadaan seperti itu cukup membuat kita ngeri, hal ini tidak terlepas dari terjadinya disorientasi pembangunan dalam kampus. Mengabaikan literasi bahkan dalam artian yang paling sempit, yakni membaca dan munulis adalah sebuah bencana, apalagi hal ini dilakukan oleh lembaga pendidikan yang disebut kampus. Padahal membaca adalah hal yang penting, terutama lagi bagi kehidupan kampus, Eko Prasetyo menyebut membaca adalah kegiatan yang sesungguhnya memberi kita banyak kesempatan untuk mengasah nalar. 

Maka mengabaikannya berarti menjauhkan kita dari tujuan pendidikan itu sendiri, yang oleh Tan Malaka diringkas menjadi sederhana namun tegas; mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan.
Sudah waktunya kampus mengubah paradigma dalam membangun, bukan bermaksud untuk mengatakan pembangunan yang bersifat fisik itu tidak penting, tentu juga adalah hal yang penting namun bukan yang utama. Kampus harus berani menginterupsi kenyataan kemudian mengubahnya. Sebab berpaling dari cara pikir yang serba kapitalistik adalah sebuah kemajuan dan tetap bertahan berarti mengijak-nginjak nalar.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pandemi, Organisasi Mahasiswa, dan "Jadwal Molor" Pemira Unsera

Wisuda Drive Thru Unsera; Komersialisasi Pendidikan di Masa Pandemi

Kisah Fajar, Embun dan Senja