Menikmati Waktu

Sudah hampir satu tahun tidak menyentuh platform ini. Banyak sekali hal yang telah terjadi. Namun dalam kesempatan kali ini, saya hanya ingin membagikan beberapa hal, untuk diingat di kemudian hari. 

Pada suatu persimpangan hidup, di waktu senggang ketika memulai kontemplasi, atau meminun kopi sendiri di teras rumah, pernah tidak terpikir tentang waktu yang berjalan begitu cepat? Tiba-tiba banyak hal berubah, ada yang datang dan pergi, ada yang menetap dan berpindah, ada yang membaik atau memburuk.

Pernah tidak, kita menemukan foto-foto lama, lagu yang diputar, film yang ditonton ulang, membawa kita kembali ke masa tertentu di belakang? Menghadirkan kembali nuansa nostalgia pada waktu-waktu tertentu, yang membuat kita rindu. Membuat kita sadar kembali bahwa kita sudah jauh, sudah melesat menuju arti-arti yang lain, tapi rindu momen-momen itu.

Pernah tidak merekam memori kita diusia kanak-kanak yang berpikir tentang menjadi dewasa, pada usia tertentu yang sudah lepas dari apa saja balutan kanak-kanak dan bahagia, melihat diri kita menjadi besar dan bersahaja. 

Kemudian tersadar bahwa kita sudah melewati kilatan memori itu dan berpijak pada hari ini; di usia yang kita bayangkan pada kanak-kanak dulu, di kondisi dewasa yang kita imajikan dulu, di ruang dan waktu yang ingin kita gapai dulu, dewasa. Dengan segala keindahan imaji kanak-kanak saya.

Dan pernah tidak berada pada kondisi ingin kembali pada masa kanak-kanak lagi? Mengingat memori disuapin ibu, jatuh tinggal menangis dan bangkit lagi, salah tidak masalah tinggal dibenahi, setiap hari adalah kesenangan—hari esok adalah kebahagiaan— lusa adalah kegembiraan. Jika pernah semua, maka kita sama. 

Pertanyaan yang mungkin timbul atas kurangnya kita, yang waktu kecil ingin dewasa dengan segala aksesnya, bisa kesana-sini tidak masalah, dan banyak hal lain atas imaji kanak-kanak kita terhadap sosok dewasa. Sedang ketika dewasa, kita rindu kepolosan kanak-kanak itu, rindu main-main dan seru, rindu kebahagiaan yang tanpa celah dulu.

Di antara ruang rindu itu, seperti kata Letto, kita juga sering berusaha keras menghalangi waktu, agar ia tidak membuat yang ada menjadi tiada atau ketiadaan itu menjadi ada. Tak urung jua, kulihatnya pergi.

Waktu memang tidak bisa dihalangi, ia ada dan terus berubah. Kita lengah, dia sudah melesat terlampau jauh, hingga kita kesuliatan mengejarnya, ngos-ngosan untuk kembali menggenggamnya. Kita akan mengalami kondisi ketertinggalan yang menyakitkan.

Sampai kita sadar bahwa waktu selalu menyediakan kondisi untuk kita kembali pulih, untuk kembali lagi pada garis itu, persimpangan yang ingin kita gapai itu. Ternyata waktu hadir pada kesadaran, bukan dari pelarian. 

Saya kebingungan menutup tulisan ini. Intinya, coba kembali tenang, mendengar yang biasanya tidak peduli kita dengar, merasakan yang biasanya sambil lalu tidak kita radakan, ada dengungan di telinga, ada angin melewati kulit, dan ada kesadaran untuk merasakan lagi waktu berganti.

Hingga kita lebih menikmatinya, menikmati anugerah Tuhan atas hidup kita.

Serang, 2022.

Ditulis untuk renungan kala malam, dibawah sinar rembulan yang temaram. Semoga menjadi nasihat diri yang mencambuk langkah kaki kedepan.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pandemi, Organisasi Mahasiswa, dan "Jadwal Molor" Pemira Unsera

Wisuda Drive Thru Unsera; Komersialisasi Pendidikan di Masa Pandemi

Kisah Fajar, Embun dan Senja