Hantu Ancaman Akademik terhadap Mahasiswa



gambar: remottivi

"Saya bermimpi, di masa depan, kampus bisa mendapatkan mimbarnya kembali dan para mahasiswanya menganggap bahwa kebebasan mimbar adalah sesuatu yang fundamental bagi kehidupannya di dalam kampus." (Soe Hok Gie)

Sebuah kalimat di atas merupakan cita-cita luhur dari seorang tokoh gerakan mahasiswa, yang masih dikenang sampai saat ini. Cita-cita luhurnya masih menjadi sebuah harapan sampai saat ini. Ya, hari ini, kita belum dapat mewujudkan harapan tersebut.

Hal ini juga terjadi di kampus saya, kampus swasta yang konon merupakan salah satu kampus berstandar internasional yang berada di Provinsi Banten. Ya, meskipun sanksi drop out tidak sampai terjadi, namun hal yang seharusnya tida dilakukan justru terjadi di kampus saya ini. Ya, di kampus yang seharusnya menjunjung tinggi asas kebebasan berpikir kepada mahasiswanya, justru di intervensi dan dibatasi. 

Pada Rabu tertanggal 12 Mei 2020, dikejutkan dengan sebuah kabar ada salah satu mahasiswa Unsera yang berinisial F, mendapat ancaman dan intimidasi dari Humas Universitas Serang Raya. Mulanya mahasiswa tersebut mengkritik dengan membuat propaganda video dan sempat viral di media sosial, isi dari video tersebut berupa tuntutan mendesak kampus agar memberi potongan biaya perkuliahan selama wabah Covid-19. 

Menurut F, ia membuat konten tersebut hanya karena ingin 'mengindahkan' tuntutan mahasiswa yang masih banyak yang mengeluh akan hasil keputusan audiensi antara pihak rektorat dan perwakilan mahasiswa. Pada audiensi pada tanggal 12 April silam hanya menghasilkan penundaan biaya maksimal 50%. Tentu kebijakan tersebut bukan harapan mahasiswa karena tidak ada keringanan atau pemotongan biaya selama pandemi.

Beberapa jam video itu beredar, ia mendapat sebuah pesan  ancaman dari pihak Humas Unsera yang berbunyi "Humas minta usut, video ini sudah menyebar kemana-mana. Bisa kita kenakan UU ITE. Mau lanjut ke ranah hukum atau cukup sanksi administrasi."


Pertama, ini menunjukkan indikasi menguatkan rezim anti kritik di dala kampus. Aksi kritis dalam konten video pada dasarnya adalah upaya mempertanyakan sebuah kebijakan. Kedua, ancaman tersebut menggambarkan sebuah kekuasaan yang ahistoris. Jika kita lihat, sejarah panjang gerakan protes yang dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa selalu berada di garda terdepan dalam setiap perubahan sosial politik yang terjadi di negeri ini.

Esok paginya, F mendapat surat panggilan dari rektor untuk dimintai keterangan saat hari itu juga. Ia dituding pihak kampus melakukan tindak kejahatan berbasis teknologi dan penghasutan karena dianggap mereresahan pihak kampus. Lebih lanjutnya lagi, pembungkaman tersebut dilakukan lewat celah-celah yang sulit untuk diprotes oleh mahasiswa, seperti ancaman pencabutan beasiswa si pengkritik atau menandatangani surat pernyataan, yang inti dari poinnya "menjaga ketertiban kampus"

Tentu insiden kritik dibalas dengan ancaman tersebut menunjukan simbol degradasi mental kampus.  Kampus yang semestinya menjadi garda terdepan dalam “Revolusi Mental” bagi generasi muda justru terjebat pada tindakan barbarisme yang mengintimidasi dan menjadi tempat yang sangat tidak nyaman bagi tumbuhnya kreatifitas dan dinamika akademik. Atas nama kewenangan institusi memasung kebebasan kaum muda di universitas untuk melakukan kritik atas kebijakan-kebijakan kampus yang dianggap merugikan. Kampus seharusnya menjadi wadah bagi tumbuh suburnya kritisisme sebagai tradisi intelektual yang melahirkan pemikiran positif dianggap mengancam eksistensi dan melahirkan tindakan anti kritik. Ini sebagai lonceng tanda kematian demokratisasi kampus.

Seharusnya dalam ruang yang penuh sesak para kaum intelektual ini, hasrat untuk berkuasa harus ditekan seminim mungkin. Jika ditinjau ulang, lahirnya objektivitas berdasarkan orok-orok yang dihimpun dari beragam subjektivitas yang muncul. Masing-masing subjektivitas dirasionalkan ulang untuk memasak konsensus. Maka dari itu tak ada proses kerja yang bisa dilakukan dengan sendirinya tanpa melibatkan unsur-unsur di luar dirinya.

Suburnya kritikan harus seimbang dengan kemauan untuk menanggapinya dengan cara sebagaimana kaum intelek bertindak. Bukan malah melawannya sebagaimana musuh. Bahkan yang paling bodoh, jika harus merespon kritik dengan mengandalkan jabatan yang secara struktural lebih tinggi daripada si pengkritik. Hasrat tersebut dianggap oleh Aristoteles sebagai sifat kehewanan yang muncul ketika manusia berhasrat untuk mendominasi. Padahal satu hal yang membedakan antara manusia dengan hewan hanya satu hal. Yaitu karena dalam diri manusia tertanam kekuatan untuk berpikir dan merasionalisasi tindakkannya.

Menurut Roger H. Soltau, tujuan sebuah negara ialah memungkinkan rakyatnya leluasa bergerak untuk berekspresi, maka seharusnya para elit kampus mengupayakan para mahasiswanya agar “Berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin”. Sedangkan bagi Harold J. Laski, seharusnya elit kampus “Menciptakan keadaan di mana rakyatnya (mahasiswa) dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal”.

Jika dipikirkan ulang lebih dalam, hakekat pendidikan adalah mencetak manusia yang memanusiakan manusia. Dalam pandangan Pauolo Freire, pendidikan tidak lain adalah proses penyadaran kembali setelah masyarakat mendapat penindasan, hegemoni, maupun kepentingan-kepentingan politis tertentu. Reproduksi pemikiran kritis itulah yang akan memicu pembongkaran terhadap sistem sosial yang tidak adil. Dalam artian, kesadaran kritis akan melahirkan anak didik yang steril dari hegemoni maupun kepentingan. Kaum terdidik harus mampu mengkritisi sistem yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Dengan kata lain, tak hanya menyimpan wacana pendidikan, namun menguji pengetahuanya di wilayah empiris. Berupaya mengangkat hak kelas tertindas menuju kelas yang setara dengan masyarakat lainya.

Sebagaimana argumen usang terkait bilamana sebuah kampus adalah laboratorium mini, ibarat sebuah negara. Maka sudah seharusnya kampus mengeksekusi banyak hal agar kesehatan iklim demokrasi tetap terjaga agar dapat menjadi ruang yang bebas dan terbuka terhadap kritik-kritik. Kampus juga tidak patut menganggap para mahasiswa yang memiliki sikap kritis sebagai musuh mereka. Karena dapur ilmu pengetahuan dari sebuah kampus adalah mahasiswa itu sendiri.

kampus juga harus berperan aktif untuk mewadahi dan menampung aspirasi dan suara dari para mahasiswanya. Karena kampus juga merupakan ibu dari ilmu pengetahuan. Kampus memiliki tanggung jawab besar untuk mewadahi hal tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pandemi, Organisasi Mahasiswa, dan "Jadwal Molor" Pemira Unsera

Wisuda Drive Thru Unsera; Komersialisasi Pendidikan di Masa Pandemi

Kisah Fajar, Embun dan Senja