Pesawat Kertas untuk Bapak
Apa kabar, Pak? Bagaimana keadaan surga? Semoga Bapak tenang, damai dan selalu dalam dekapan-Nya.
Masih sangat menyengat, harum mawar yang menyebar lewat udara dan memenuhi setiap sudut ruang pada hari itu. Masih segar di ingatan tubuhmu yang terbujur kaku dan terbungkus kafan putih. Terngiang-ngiang di telinga tumpah ruah air mata beserta jeritan pertanda duka. Menggema hebat suara kerabat yang melantunkan ayat suci untuk mengiringi kepergianmu.
Yang tak pernah kupercaya, bapak pergi sehari setelah menghabiskan malam dengan tertawa bersama keluarga–menghabiskan jajanan martabak manis kesukaan bapak di sudut Taman Ciruas. Suara pengendara yang riuh menjadi saksi bisu malam itu, malam yang penuh kehangatan. Karena itulah kusebut kepergianmu seperti sambaran petir di tengah matahari yang sedang bersinar cerah. Bapak meninggal karena penyakit jantung yang didera sejak 4 tahun yang lalu.
Tepat pada Senin pagi, 25 Januari 2021, hari yang tak akan pernah aku lupa sampai kapanpun, hari yang membuat semuanya menjadi tak terkendali. Hari itu sebenarnya aku berada di tempat yang berbeda. Aku keluar dari rumah untuk kost dekat dengan tempatku kuliah--handphone berdering tanpa henti. Ibu menangis tak hentinya sehingga tak sanggup berkata-kata. Aku bilang, “Perlahan Bu, tenang, ada apa?” Lalu dengan nada yang sesak Mamah berkata, “Ka, cepet pulang sekarang. Bapak udah pulang ke sisi Allah.” Aku terdiam tak percaya.
Aku langsung berlari dari kamar tidur dan mengeluarkan sepeda motor, tanpa tersadar aku pergi tanpa alas kaki dan jaket. Namun aku tak merasa apapun, tak merasa dingin. Yang kurasa hanyalah sesak tak karuan, tangan gemetar, dan menangis sepanjang jalan dengan hanya mengucap maaf yang tak berhenti aku katakan.
Ketika sampai rumah aku berlari dan memeluk Bapak yang sudah tertidur kaku tanpa napas hangatnya. Aku tak bisa menerima hari itu. Aku menangis tanpa henti, memeluk erat tubuh dingin yang dibalut kain kafan. Aku meronta dan menyalahkan diri karena aku tak bisa menemani kepergiannya.
“Bak angin kencang mengguncang pepohonan rindang kemudian menjatuhkan satu demi satu dedaunan.”
Sama seperti kehidupanku setelah kepergian bapak, ku gugurkan satu demi satu mimpi yang semula ingin kuraih demi membahagikanmu. Aku ingin membuatmu bangga telah merawat dan membesarkanku sebagai anakmu. Aku ingin dunia melihat dirimu sebagai alasan atas semua keberhasilan yang aku raih. Melihat aku di wisuda di gedung mewah secara langsung, menjadi wali dalam pernikahanku kelak dan melihat karya buku ku yang sedang aku garap.
Bapak pernah cemas ketika aku tidak pulang berhari-hari karena kesibukanku di organisasi kampus, engkau begitu cemas ketika aku belum mendapat judul skripsi–sampai pada akhirnya ketika aku sedang berjuang demi engkau Ayah, Ibu, kakak dan adik ku, Allah begitu menyayangimu; Allah menjemputmu untuk berada disisiNya sebelum aku mampu mewujudkannya.
Bapak sekarang memang tak terlihat, tapi aku yakin bapak selalu ada, selalu hadir, di sini, di hatiku. Bapak sosok yang tegas, bijaksana dan berwibawa namun tetap berkepribadian lembut serta penyayang–yang membuatku menjadi sosok laki-laki yang kuat, yang mengajarku tentang arti ikhlas dan bertanggungjawab.
Bapak yang tak henti-hentinya mengingatkan untuk selalu berbuat kebaikan, berbagi dan bermanfaat bagi sesama. Engkau tidak pernah membatasiku untuk mengenal dunia luar, engkau membebaskanku kemana aku melangkah–bahwa setiap langkah dalam kehidupanku aku selalu ingat akan kepercayaanmu, yang tak pernah melarang aku pulang hingga dunia sudah mulai disinari bulan.
Terimakasih untuk bapak yang selalu bekerja keras agar asap di dapur tetap mengepul dan kami anak-anakmu terus mengenyam pendidikan yang layak. Terimakasih untuk bapak yang mendidikku agar menjadi sosok yang pantang menyerah, optimis dan pandai bersyukur.
Ada milyaran maaf yang ingin kuutarakan di hadapanmu. Maafkan aku bapak, sejengkalpun belum terbalas jasamu. Maaf untuk prilaku yang terkadang mengiris ulu hatimu. Maaf untuk jarak yang tak sengaja tercipta seiring aku mendewasa. Maaf karena aku belum sempurna menghapus lelahmu. Serta maaf-maaf lain yang mungkin tidak akan cukup kutulis dalam 1000 lembar kertas sekalipun
Sungguh aku merindukanmu, pak. Mungkin kata rindu tak akan bisa mengantarku untuk bertemu atau hanya sekedar melihat wajahmu. Tapi Aku akan selalu merengkuhmu dengan doa di tiap sujudku. Aku rindu sekali. Apakah Tuhan menyampaikan salam rinduku untuk bapak? Pasti sudah, aku yakin itu. Tunggu kami, pak. Dunia ini hanya sementara. Kelak kita semua akan berkumpul menjadi keluarga yang utuh dalam surga-Nya. Amin.
Sudah ya pak, pandangan saya semakin kabur tertutup air mata. Ini bukan karena aku belum ikhlas bapak pergi, sungguh. Seperti pesan bapak sebelum pergi, “Kelak jika jantung bapak sudah tidak tertolong dan bapak pulang duluan; jangan larut dalam kesedihan, ikhlasin dan do'kan saja.” Aku menangis hanya karena rindu, pak, boleh bertemu? Sesekali datanglah ke mimpi aku ya pak.
“Kepergianmu membuatku mengerti bahwa rindu paling menyakitkan adalah merindukan seseorang yang telah tiada. Namun kepergianmu pun mengajarkan bahwa tuhan selalu ada untuk mendengarkan segala doa dan harapan.”
Bapak, aku mencintaimu dengan sepenuh jiwa.
Yang mencintaimu;
KhairulAnwar.
Komentar
Posting Komentar