Pukul Satu Dinihari
Seketika aku terbangun di tengah malam, sambil
mengelap keringat yang membasahi leher dan dahiku. Rupanya terbangun karena
udara malam itu begitu panas, hujan yang gagal jatuh malam ini menyebabkan
udara sedikit hangat dari biasanya. Seketika aku hidupkan handphoneku
karena ruangan berukuran empat kali tiga meter ini terlalu gelap, mata ini
tidak bisa melihat jam dinding tua itu menunjukkan waktu pukul berapa. Aku
biasa mematikan lampu ketika hendak tidur karena takut paparan cahaya lampu
akan membuat wajahku terbakar, menurut para ahli. Yang sampai sekarang akupun
tidak tahu siapa nama dari ahli itu. Mungkin seorang ahli kulit yang sudah tua
dengan kaca mata tebal yang nangkring dihidung mancungnya, keturunan Amerika
atau Eropa. Sudahlah aku tidak mau memikirkan si ahli itu, karena ia juga tidak
memikirkanku.
Rupanya baru pukul
satu pagi, ah kenapa aku sudah terlelap begitu sore dan terbangun pula? Tidak
biasanya, karena akhir-akhir ini aku tertidur di sepertiga malam. Membunuh
waktu dengan membaca buku yang selalu membuat aku makin bodoh karena merasa
terlambat. Harusnya aku sudah tamat ratusan bahkan ribuan buku, seharusnya.
Tapi nyatanya hanya beberapa buku yang baru aku lahap, dan sekarang aku masih
lapar. Sangat lapar kadang menjadi beringas.
Hatta saja pernah
bilang “Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku
bebas”. Mungkin bagi anak muda seperti kami, ah tapi sepertinya hanya aku
saja. Tidak akan rela jika dipenjara hanya bertemankan buku. Kami ini generasi
yang tidak menganggap buku itu seperti matahari. Bisa dipastikan
penggunaan handphone untuk mengakses media sosial lebih akrab
dengan generasi saat ini dari pada membaca sejarah seperti bagaimana Pramoedya
Ananta Toer di penjara karena buku-buku yang ditulisnya berbau pesan
Marxisme-Leninisme, lalu selama mendekam Pram berhasil menamatkan tetralogi
Pulau Buru. yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan
Rumah Kaca.
Tiba-tiba aku ingin
menulis, ya menulis apa saja. Biasanya kegelisahan-kegelisahan anak muda
seusiaku, tapi tidak melulu percintaan. Salah satu kawan aktifis pernah
berkata, “hidup ini bukan hanya romantisme percintaan belaka. Terlalu
sempit jika berpikiran cinta melulu, bung!.” Sebagian besar menulis
opini atau berita, tentunya belum taraf profesional. Aku masih anak bawang yang
harus belajar keras untuk bisa menulis. Masih terlalu sedikit tulisan yang aku
buat, mungkin jelekpun belum masuk kategori. Lalu apa namanya? Menulis kegelisahan-kegelisah
agar aku tahu apa yang selama ini menggelisahkan diriku, membutku lebih tenang
dan memperbaiki susunan kalimatku.
Bayangkan ketika sudah
berkeinginan menulis tapi tidak tahu apa yang ingin ditulis. Tuhan, rasanya
menulis satu kalimat saja penat, apalagi satu paragraf. Aku butuh inspirasi
nampaknya, tapi cari kemana? Kamar mandi? Atau aku beli inspirasi? Seorang
kawan lain pernah berkata, bahwa kopi adalah sumber inspirasi. Dengan semangat
ia menjelaskan bahwa kopi adalah singkatan dari Ketika Otak Perlu Inspirasi,
tapi tunggu aku ragu. Dari mana korelasi antara kopi dan inspirasi? Minuman
mengandung kafein berwarna hitam itu apakah sangat sakti? Sehingga bisa membuat
inspirasi datang dengan tiba-tiba. Apa ada penjelasan ilmiah atau ini hanya
guyonan para pecinta kopi karena dengan meminum kopi mereka menjadi lebih
semangat? Entahlah.
Baiklah marilah
sejenak pergi ke dapur untuk menyajikan kopi hangat sebagai teman malam ini.
Air hangat selalu tersedia ditermos dan kopi Gayo masih tersisa ternyata.
Semoga setelah meminum kopi akan ada inspirasi untuk menulis. Jangan terlalu
manis tentunya. Seperti Candra Malik pernah katakan, “Aku secangkir kopi saja.
Tanpa gula. Aku tak terlalu suka pemanis untuk hal-hal yang memang dikodratkan
pahit.” Selamat ngopi!
Tulisan random.
Komentar
Posting Komentar