Lalu, Hanya Menulis!
Sebuah pena dengan cantiknya melenggak-lenggok layaknya penari balet dalam sebuah pentas megah. Pena tersebut tersebut terkadang bergerak dari atas ke bawah membentuk garis horizontal, atau memutar membuat sebuah lingkaran sempurna.
Hanya saja, pena tersebut memiliki kekurangan. Tak bernyawa dan tak memiliki jiwa. Sayangnya, hanya sebuah alat untuk melengkapi secarik kertas putih hingga menjadi lebih bernilai.
Dalang adalah otak dan jiwa, sehingga perpaduan sempurna tersebut menjadi sebuah maha karya. Sebut saja Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira, ataupun Salman Rushdie adalah sedikit dari deretan nama wahid yang mampu menyulap kumpulan kertas putih menjadi lebih berharga. Bahkan para pembacanya mampu terhipnotis dalam rangkai kata yang mereka susun menjadi sebuah persepsi atau sudut pandang dalam setiap individu yang mencoba memahami setiap tulisan mereka.
“Lantas apa bedanya mereka dengan saya?"
Toh, saya juga memiliki perangkat yang seperti mereka,” gerutu saya dalam hati.
Alam bawah sadar lalu berkata hal logis yang mampu dicerna ego serta pikiran ini. Jawabannya mudah dan singkat. “Kemauan dan sedikit imajinasi,” ungkap kata batin yang selama ini terkungkung keegoisan dan rasa malas.
Jawaban tersebut menjadi kunci. Kunci agar kotak imajinasi dalam otak saya membiarkan pikiran nakal nan liar untuk terbebas menjelajah setiap saraf.
Ya, tanpa sadar pena tersebut melenggak-lenggok seperti yang saya ceritakan di awal.
Yang saya tuliskan adalah apa yang kalian baca saat ini. Bukan cerita mendayu-dayu atau sebuah puisi penuh semangat menggambarkan perjuangan tanpa henti. Melainkan sebuah jawaban, cita-cita serta kemauan untuk menjadi salah satu dari nama besar yang saya sebutkan. Meski belum diakui, “setidaknya saya menulis,” jelas batin ini penuh keyakinan.
Lalu, saya hanya menulis dan menulis. Tanpa tahu kapan waktunya berhenti.
Hanya saja, pena tersebut memiliki kekurangan. Tak bernyawa dan tak memiliki jiwa. Sayangnya, hanya sebuah alat untuk melengkapi secarik kertas putih hingga menjadi lebih bernilai.
Dalang adalah otak dan jiwa, sehingga perpaduan sempurna tersebut menjadi sebuah maha karya. Sebut saja Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira, ataupun Salman Rushdie adalah sedikit dari deretan nama wahid yang mampu menyulap kumpulan kertas putih menjadi lebih berharga. Bahkan para pembacanya mampu terhipnotis dalam rangkai kata yang mereka susun menjadi sebuah persepsi atau sudut pandang dalam setiap individu yang mencoba memahami setiap tulisan mereka.
“Lantas apa bedanya mereka dengan saya?"
Toh, saya juga memiliki perangkat yang seperti mereka,” gerutu saya dalam hati.
Alam bawah sadar lalu berkata hal logis yang mampu dicerna ego serta pikiran ini. Jawabannya mudah dan singkat. “Kemauan dan sedikit imajinasi,” ungkap kata batin yang selama ini terkungkung keegoisan dan rasa malas.
Jawaban tersebut menjadi kunci. Kunci agar kotak imajinasi dalam otak saya membiarkan pikiran nakal nan liar untuk terbebas menjelajah setiap saraf.
Ya, tanpa sadar pena tersebut melenggak-lenggok seperti yang saya ceritakan di awal.
Yang saya tuliskan adalah apa yang kalian baca saat ini. Bukan cerita mendayu-dayu atau sebuah puisi penuh semangat menggambarkan perjuangan tanpa henti. Melainkan sebuah jawaban, cita-cita serta kemauan untuk menjadi salah satu dari nama besar yang saya sebutkan. Meski belum diakui, “setidaknya saya menulis,” jelas batin ini penuh keyakinan.
Lalu, saya hanya menulis dan menulis. Tanpa tahu kapan waktunya berhenti.
Komentar
Posting Komentar