Menyadari apa yang Tan Malaka bilang

Ingin sekali berterima kasih. Mulai dari berterima kasih ke orang-orang sekitar, ke takdir, ke waktu, ke segala pengalaman yang manis, ke segala pengalaman memalukan lagi pahit, dan terlebih lagi… Terima kasih, Tuhan.

Hari ini, saya akhirnya menyadari apa yang pernah Tan Malaka bilang:

Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.

Akhir minggu yang kosong membuat saya banyak berkontemplasi tentang diri sendiri.
Selama hidup ini, tidak terhitung kesalahan yang saya buat, kesalahan langkah yang saya ambil, kegagalan, frustrasi, dan air mata. Saya sering merasa depresi dengan semua itu, apalagi kalau membandingkan diri ini dengan orang-orang sukses di sekitar saya, padahal mereka baru dalam tahap mahasiswa. Duh, rasanya diri ini cuma butiran debu…

Tapi, di waktu-waktu kosong akhir minggu yang saya nikmati untuk diri sendiri ini, perlahan, semua hal yang sebetulnya tidak menyenangkan untuk saya selama ini membuka tabirnya.

Saya berkaca.

Bukan dalam arti harfiah, ya.

Sekali lagi, kata-kata itu bergaung:


Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.


Ternyata selama ini, segala kegagalan, rasa pahit, dan air mata itulah yang membentuk saya. Saya yang lemah, cengeng, manja, rapuh, dan terbiasa hidup enak. Rupanya, Tuhan ingin menunjukkan kepada saya bahwa memang inilah dunia. Tempat dimana ujian-ujian hidup berlangsung sampai akhir hayat. Dan dengan mental yang lemah, mana bisa seorang manusia bertahan?

Saya dulu hanya tahu teorinya, tapi belum merasakan realitanya.

Tapi kemudian, seiring waktu berjalan, seiring pula dengan semakin banyak pengalaman hidup yang saya hadapi, akhirnya saya perlahan mulai bisa melihat dunia ini dari kacamata orang dewasa. Bukan lagi dari kacamata anak remaja yang lemah, cengeng, manja, rapuh, dan terbiasa hidup enak.

Salah satu manfaat nyata yang kini saya rasakan dengan banyaknya kejadian-kejadian yang merubah hidup saya belakangan ini adalah: saya yang dulunya terbilang sulit bergaul dan mudah sekali berkeringat dingin dan deg-degan kalau bicara di depan banyak orang, perlahan berubah. Saya hilangkan kekakuan dalam diri saya, saya hilangkan prasangka saya pada orang-orang yang baru saya kenal dan mencoba luwes dalam menghadapi orang baru, saya juga membiasakan diri untuk banyak berbicara di depan umum dengan tujuan agar membiasakan diri untuk momen-momen seperti ini.

Semua itu terjadi karena alam bawah saya sadar, bila saya tidak berubah ke arah yang lebih baik, maka saya selamanya akan terjebak pada kesalahan dan kegagalan yang disebabkan oleh hal yang itu-itu saja. Dan saya tidak mau itu terjadi.

Somehow, it changed me. A lot.

And I love that.

Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.

Tanpa benturan, mana bisa kita sampai pada puncak itu. Puncak yang menjadi tujuan hidup kita di jangka panjang. Karena perjalanan kehidupan ini tak akan pernah mulus, kan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pandemi, Organisasi Mahasiswa, dan "Jadwal Molor" Pemira Unsera

Wisuda Drive Thru Unsera; Komersialisasi Pendidikan di Masa Pandemi

Kisah Fajar, Embun dan Senja