Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Kisah Padi; Selaras Dengan Alam

Sebuah kisah bijak Cina kuno yang singkat memberikan gambaran yang sangat baik kepada saya tentang kepemimpinan excellent. Alkisah ada seorang anak petani yang tidak sabar melihat padi yang ditanam ayahnya disawah tumbuh sangat lambat. Kemudian ia berinisiatif untuk mempercepat pertumbuhannya, yakni dengan menarik sedikit semainya ke atas. Setelah selesai mengerjakan semuanya dan merasa telah berhasil menambah tinggi tanaman-tanaman padi tersebut, ia pulang dengan perasaan gembira dan puas. Beberapa hari kemudian ia kembali ke sawah untuk melihat tanaman padi ayahnya. Ternyata, semua tanaman padi ayahnya telah layu dan mati. Layaknya padi pada kisah bijak diatas, kepemimpinan excellent adalah model kepemimpinan yang selaras dengan alam. Alam mengajarkan kepada kita tentang pertumbuhan. Kepemimpinan excellent merupakan model kepemimpinan yang hanya dapat anda miliki melalui proses, tahap demi tahap. Ia bukan model kepemimpinan cepat saji, seperti burger atau hot dog yang bisa anda...

(Kontemplasi) Waktu Sendiri

Coba deh, luangin satu waktu yang bener-bener khusus untuk diri sendiri. Sejenak melupakan semua agenda-agenda dan amanah yang sering dianggap berat. Cari tempat dimana bisa menyendiri, waktu malam akan lebih baik. Sampai benar-benar muncul rasa nyaman dengan kesendirianmu kala itu, mulailah dengan membuka smartphone atau apapun yang bisa digunakan untuk bercermin, tatap wajah lamat-lamat sambil membuka dialog hati, “Hai, apa kabar kamu?” “Lagi sibuk apa?” “Gimana ibadahnya?” “Gimana kabar keluarga?” “Gimana proses studimu? Sampai mana?” “Apa kabar cita-cita? Sudah sampai mana diperjuangkan? "Apa kabar sahabatmu? Apakah kamu masih punya salah dan kepadanya?” Tanyakan semua kebingunganmu, “Selama ini aku hidup untuk apa?” “Aku ngaji buat apa?” “Aku berjuang untuk apa?” “Aku melakukan ini itu untuk apa?” Dan pertanyaan-pertanyaan lain sesuai kondisi. Lalu pejamkan mata, ambil nafas dalam-dalam dan hembuskan. Mulailah menjawab pertany...

Obrolan-Obrolan di Sore Hari

1/ “Kalau bisa memilih, kalian mau kemana?” tanya sepasang sepatu pada sepasang sepatu lain yang berada tidak jauh dari situ. “Kami tidak tahu tempat yang bagus,” jawab salah satu dari pasangan sepatu kedua. Saat bicara, wajah sepatu itu seperti dadar gulung gosong. Mendengar itu, pasangan sepatu pertama berkata, “Kalian kira kami senang?” “Tiap kehidupan punya resiko, ya?” kata salah satu dari pasangan sepatu kedua yang tadi diam. Ia lirik pasangannya. Sejak sampai kemari, pasangannya suka mengeluh, karena belum pernah mereka pergi sejauh ini. “Itu kalian tahu.” “Termasuk jadi sepatu?” Mereka diam. Pasangan pertama maupun pasangan kedua sama-sama tahu mereka Cuma sepatu, yang harusnya mati dan tidak protes, karena dipakai manusia sebagai alas kaki. Tidak satu pasang pun sepatu di dunia ini bisa membuat pilihan. Obrolan semakin menarik. “Oh, tentu.” Salah satu sepatu sepasang pertama menyahut. “Hidup sebagai sepatu memang begini. Kita tidak bisa memilih ...

Analisis Aksi Massa Gerakan September

Gambar
Apa yang melandasi aksi-aksi protes begitu cepat ter-kapitalisasi, atau bahasa sederhananya, kok bisa tiba-tiba banyak orang ikut aksi? Dari pengamatan pribadi saya, berdasarkan berbagai sumber yang saya baca dan ikuti, gelombang aksi bermuara pada isu pelemahan KPK melalui RUU KPK yang dianggap menggembosi Otoritas KPK dalam memberantas Korupsi Sejauh ini, KPK di mata masyarakat adalah simbol bagi pemberantasan korupsi. Meskipun sebagian masyarakat juga menilai, ada atau tidak adanya KPK korupsi tetap akan terjadi di Indonesia. Korupsi oleh masyarakat Indonesia sudah pandang sebagai budaya yang sudah berurat-berakar di dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di dalam lembaga pemerintahan. Meski demikian, KPK tetap dipandang sebagai lembaga yang- jika tidak bisa memberantas keseluruhan, paling tidak sebagia,  bisa melawan korupsi di Indonesia. Selain itu, track record KPK belakangan, juga membuat elit elit politik merasa terganggu. Mulai dari operasi tangkap tangan yang me...

Bunga Layu Tidak Selalu Termakan Usia

Potnya masih kokoh di pelataran rumah, dideru angin sore menjelang malam, berbarengan bunyi lincak yang ditinggalkan oleh pemiliknya masuk ke dalam rumah, sebab panggilan Tuhan telah diutamakan. Tak ada yang melihat gerak-geriknya. Semakin mekar di antara daun-daun yang lelah menyapa dan memberi semangat untuk tumbuh berkembang, dan pot yang masih terjaga lebih dari waktu yang telah mengambang. Telah dewasa bunga kesayangan. Dipeluknya dedaunan, dikecupnya akarnya, dibelainya tubuhnya sendiri, karena telah berhasil tumbuh dan tidak lagi memohon dan meminta pada semesta. Tuhan cemburu saat itu, bunga tidak lagi berdoa padanya, di antara sore yang semakin kelabu tidak ada lagi harapan bunga ingin tumbuh, sebab bunga memang telah tumbuh adanya. Bunga tidak butuh bertahan tampaknya, ucap Tuhan kegirangan. Esok pagi lincak dipukul oleh pemilik, sambil teriak siapa yang menghancurkan bunganya. Baru saja dua hari mekar dan menari, telah mati dan pergi. Bunga teriak ...

Fiksi; Katak dalam tempurung kepada Semut

Bertanya kepada Katak dalam tempurung kepada Semut yang baru saja pulang setelah bersampan dari seberang lautan, "Telah beribu tahun aku bersembunyi didalam ini tempurung, masihkah Gajah itu yang berdiri di pelupuk matanya? " "Tidak"  Semut menjawab sambil bersandar disebuah batu-batu tempat Udang pernah menyuruk dibaliknya. "Lalu?" "Kini di pelupuk matanya tiada apa-apa lagi. Gajah telah lama gadingnya dicuri orang, Harimau telah lama meninggalkan belang," sejenak Semut berhenti berkata-kata, kemudian melanjutkan "hanya tinggal seonggok Kecebong yang lihai bersilat kata, tapi kini kecebong-kecebong itu pun telah menyelam didasar kolam, tak lagi pandai bersuara!"

Langit dan Laut

Kamu kenapa kok bisa mencintai Langit?” tanyanya. “Karena Langit itu luas. Aku ingin seluas langit dalam segala hal.” jawabku. “Kamu kenapa kok bisa mencintai Langit?” tanyanya. “Karena Langit itu luas. Aku ingin seluas langit dalam segala hal.” jawabku. “Kalau dengan Laut? Dia kan sama-sama luas dan juga berwarna biru?” tanyanya lagi. “Ya, semenjak aku mengenal Laut, aku juga jatuh cinta…” “Cinta Laut juga? Ah, kamu menduakan Langit, dong.” potongnya. “Ish, bukan. Tunggu aku selesai ngomong dulu. Setelah menyadari akan luas dan birunya Laut, pun aku masih saja dibuat jatuh cinta lagi terhadap Langit. Walaupun Laut terbentang sama luas dengan Langit, seperti tak ada batas diantara keduanya; pun tetap hati ini tidak bisa berpaling dari Langit. Laut biru, karena Langit. Dan hanya Langit yang mampu bersinar lagi walaupun berjam-jam lamanya ia menangis; juga hanya langit yang tidak lupa kembali dengan birunya setelah ditelan hitamnya malam.” ...

Di persimpangan jalan

Saya banyak menemukan orang yang berlawanan “ideologi” dalam meningkatkan produktifitasnya. Ada yang suka “gerak dulu”, jalani saja dulu, soal rencana dan lain-lain belakangan. Ada yang justru mendetail sekali dalam merencanakan, membuat semua harus menjadi mangkus dan sangkil, meminimalisasi kemungkinan-kemungkinan terburuk, dan memaksimalisasi segala keuntungan yang mungkin ada, semua direncanakan dengan matang. Malah ada yang saling ribut karena beda ideologi ini. Yang “gerak dulu” bilang, si “perencana” terlalu lamban, keburu pergi orang. Sebaliknya, si “perencana” bilang terlalu buru-buru dan sembrono kalau asal jalan dulu. Lalu saya menemukan diri saya juga ada di persimpangan itu. Di suatu saat satu sisi pikiran saya merencanakan ide-ide desain besar yang kemudian terlalu banyak sehingga bingung mulai dari mana. Di saat lainnya, satu pikiran saya sudah sangat pragmatis dengan kematangan ide jadi ingin memulai saja dulu. Tapi saya bingung memulainya bagimana, maka saya mere...

perihal usai

1/ Biarlah tua menjemput kita bersemayam di beranda dengan teh hangat di genggaman Kau dan aku, melihat anak-anak tumbuh dewasa dan bercanda tawa Biarlah kita usai dimakan waktu karena kita fana tapi cinta takkan mati karena ia abadi 2/ Ketika kau tersenyum, kulihat kematian di dalamnya sungguh mesra dan indah bercumbu denganku Hidup ini adalah tragedi tetapi bersamamu aku belajar untuk memaknai setidaknya, aku bersyukur karena aku tahu aku tidaklah kehilangan rasa cinta, rasa iba, dan rasa kasih sayang. karena dirimulah, utuh sudah aku. 3/ Maafkan aku, aku tak pandai membuat puisi Te ta pi hidupku ad a la h hidupmu  Sampai jumpa, dirimu aku mencintaimu. ("perihal usai," Mei 2019)

Gayung Menertawaiku

“Lelaki kerempeng yang takut air” dia bergumam. Air mengalir berkata “aku tidak sedingin pikiranmu” Lalu botol-botol yang berjejer di pinggir bak menatapku, tanpa berkata. Sikat dan pasta gigi adalah pilihan pertama, lalu berkumur dan dingin menyapa. Air berbohong, gayung terkikik geli, sementara botol-botol masih menatapku; masabodo. Selesai sudah, aku keluar dengan pakaian yang sama juga handuk yang masih tersampir di bahuku. Serang, 04.45 Pagi

Kisah Fajar, Embun dan Senja

“Mereka lebih banyak yang mencintai Senja daripada aku,” ungkap Fajar yang pagi ini wajahnya tampak tidak begitu ceria. “Memangnya kenapa?” tanya Embun. “Ya, karena Senja lebih gampang ditemui. Mereka bilang Senja itu romantis. Sedangkan aku, sebenarnya juga banyak yang mencintaiku tapi mereka sering tak bisa menemuiku. Banyak yang tidak bisa mengagumiku karena masih terlelap di atas tempat tidur, ada yang karena terlalu sibuk untuk mempersiapkan diri pergi bekerja dan sekolah atau ada yang lebih memilih membaca koran sambil menonton warta berita di televisi.” “Kamu tahu, Fajar? Di suatu sore yang lembab beberapa hari yang lalu, Senja juga pernah mengatakan padaku bahwa ia ingin sekali menjadi dirimu. Karena Senja sudah mulai bosan terus-menerus diabadikan dalam foto, ditulis dalam puisi, dan dilihat oleh banyak pasangan kekasih. Kamu kenal Sukab? Ia bahkan hampir setiap sore berdiri di tepi pantai untuk memotong Senja dan dilipatnya dalam amplop lalu ia kirimkan lewat...

Kepala Saya Seorang Pelukis, Titik.

Terlalu banyak berisik di kepala saya Satu per satu meminta didengar Isi kepala saya berhenti bekerja Marah, ia berhenti menggambar. Kepala saya seorang pelukis Maestro dalam melukis puisi Ia pelukis, saya bilang, pelukis. Bukan penyair, bukan pujangga. Apa pula bedanya. Kepala saya, cuma ingin menggambar puisi. Tapi terlalu riuh. Berisik sekali. Berisik sekali. Sekali lagi terlalu berisik. Ini kali kepala saya berontak berontak, tidak berotak Ia menolak bekerja, berhenti menggambar Lalu dari mana datangnya puisi ini? Serang Timur, 26 april 2019

Lika-liku

“Memang bukan sekarang, memang bukan saat ini dan detik ini tapi nanti” Itulah kata penyemangat hari ini. Semakin jauh maka semakin besar pula tantangan di hadapan, semakin besar mimpi maka semakin sempit jalan yang akan dilalui. Dulu, tak pernah terpikirkan bahwa akan seperti inilah jalannya, ke kiri dan ke kanan tanpa mengetahui kapan akan ku gapai ke depan. Semakin hari semakin lelah menghantui, namun semangat pada akhirnya mengalahkan semuanya. Pikirku kadang kala melanglang ke arah sesat, perlakuanku kadang merusak apa yang pernah kulakukan sebelumnya, hatiku meringis dalam kegelapan namun itulah di sebut sebuah “lika-liku” perjalananan. Kekuatan sebuah pemikiran sering kali menjadi jalan yang tepat, namun tak dipungkiri bahwa ia juga kadang kala meruju pada penghambat. Pikiran telah menjadi penentu di setiap apa yang terjadi bukan pada apa yang di inginkan. Hingga pada akhirnya kesuksesan paling berarti jika pengaturan sebuah pemikiran berjalan dengan baik. Sek...

Panggung demokrasi tak mengundang birahi, Pemira Unsera berakhir antiklimaks

Pemira telah usai. Hegemoni demokrasi kampus telah usai. Hiruk pikuk kampus telah usai. Ah, damai, tentram. Seperti hidup di sebuah desa dengan pepohonan rindang yang menjulang tinggi. Terhampar sawah-sawah menghijau. Sayup-sayup senandung petani ditambah gemercik air dan kicauan burung, aduhai merdunya. Begitulah sepertinya. Suasana yang dirindukan jiwa perindu kesejukan Dari sekian banyak mekanisme pergantian ketua lembaga, Pemilu Raya (Pemira) di tataran Universitas adalah salah satu yang harus mendapat perhatian lebih. Tetapi pada kenyataan, di tengah pelaksanaannya, Pemira Unsera tahun ini malah harus tersandung. Di dalam alur sebuah film kita mengenal istilah “five-act play” yang terdiri dari pengenalan, konflik, klimaks, antiklimaks, dan penyelesaian. Kelima bagian tersebut adalah komponen yang membangun film sehingga alur cerita menjadi jelas dan bisa dinikmati. Pembagian porsi masing-masing harus dilakukan dengan bijak. Agar penonton tetap bergairah dan tertarik sehin...

Bercermin pada Cabe Rawit

Adalah sang cabe rawit yang tampil dengan bentuk dan warna yang sederhana. Kehadirannya tidak ingin mendominasi dalam sepiring hidangan makan siang atau makan malam. Tetap konsisten dengan jatidirinya yang pedas dimanapun dia berada. Di secobek sambal pedasnya tegas, di sayur oseng mampu menyesuaikan diri dengan pedasnya yang proporsional, ketika sendirian dilahap bersama gorengan dia akan menciptakan harmoni rasa. Cabe rawit tampil bersahaja dengan apa yang ada pads dirinya. Dia tidak ingin menjadi seindah paprika, dia tidak ingin menjadi sebesar tomat, dan dia tidak ingin mendominasi seperti nasi. Namun siapa yang bisa menyanggah bila kehadiran cabe selalu menghadirkan efek rasa konsisten khas pedas dengan sensasi nikmat yang hampir semua orang merindukannya. Jadi tidak ada salahnya kita belajar dari cabe rawit.

Seperti Ikan Salmon dan Air

Mungkin kamu pernah denger kata  Soe Hok Gie, Munir, Wiji Tukul ,  dan para  revolusionis  lain yang harum di jamannya. Pastinya juga semangat mereka tidak hilang, sampai sekarang. Di jaman ini, masih saya lihat (walaupun sedikit dan menyempit) dari goresan, tempelan, perkataan, atau tiap pikiran mereka. Lirih namun kuat. Takut namun nekad. Kembali saya membuka mata, lebar-lebar. Mencoba berkata jujur, tanpa keinginan, tanpa hasrat, jernih. Perlahan, saya menyadari. Bahwa di jaman ini, Idealis (murni & total) hanya akan “mati”. Kenapa? Karena ini sudah bukan jaman mereka lagi. Dunia berkembang, waktu berdetik, masa berlalu. Pemikiran pun juga (harusnya) begitu. Kita tidak hidup di jaman mereka Soe Hok Gie, dkk., lagi. Kita hidup di jaman kita. Walaupun perjuangannya tidak jauh berbeda, namun cara kita tidak bisa sama. Atau kita hanya akan “mati” dengan pemikiran-pemikiran kita. Saya seorang idealis. Jujur. Tapi saya tidak bisa menjadi idealis.. Sa...

Cerpen; Mimpi Semalem

Derit pintu membangunkanku dari mimpi indah ku, mata ku sedikit menerawang ke sudut ruang yang mulai bias terkena sinar mentari. “Ah… malasnya” gumamku. Entah kenapa gaya gravitasi diatas kasur kusamku meningkat sebegitu drastisnya, jangankan untuk bangun, sekedar merubah posisi tiduranku saja sangat sulit. Rasanya ingin tidur lagi melanjutkan mimpi-mimpiku yang tadi sempat terputus. Apa daya mata sudah bosan terpejam, yang ada hanya rasa malas dibalik sisa-sisa kantukku. Anganku mulai menerawang ke angkasa bak roket yang siap meluncur menjelajahi galaksi bima sakti, tiba-tiba aku teringat perkataan Soe Hok Gie, “orang seperti kita tak pantas mati di tempat tidur”. Seketika itu juga lamunanku tertohok mataku terbelalak, tak lucu juga kalau aku mati ditempat ini, mati bukan hanya meregang nyawa saja, ketika hidup ku sudah tak bermanfaat bagi orang lain, itu pun bisa diartikan kematian jiwa pada raga yang hidup. Tak lucu bukan diusia mudaku ini aku harus mati dengan cara yang ...

Pukul Satu Dinihari

Seketika aku terbangun di tengah malam, sambil mengelap keringat yang membasahi leher dan dahiku. Rupanya terbangun karena udara malam itu begitu panas, hujan yang gagal jatuh malam ini menyebabkan udara sedikit hangat dari biasanya. Seketika aku hidupkan  handphone ku karena ruangan berukuran empat kali tiga meter ini terlalu gelap, mata ini tidak bisa melihat jam dinding tua itu menunjukkan waktu pukul berapa. Aku biasa mematikan lampu ketika hendak tidur karena takut paparan cahaya lampu akan membuat wajahku terbakar, menurut para ahli. Yang sampai sekarang akupun tidak tahu siapa nama dari ahli itu. Mungkin seorang ahli kulit yang sudah tua dengan kaca mata tebal yang nangkring dihidung mancungnya, keturunan Amerika atau Eropa. Sudahlah aku tidak mau memikirkan si ahli itu, karena ia juga tidak memikirkanku. Rupanya baru pukul satu pagi, ah kenapa aku sudah terlelap begitu sore dan terbangun pula? Tidak biasanya, karena akhir-akhir ini aku tertidur di sepertiga malam. M...

Warnai dengan Bahagia

Fokuslah mewarnai yg gelap tapi jangan menumpahkan cat. Warnai jangan melebihi garis-garis yang ada, jangan pula salah warna. Lukisannnya sudah ada karena disepakati sebelum lahir. Tinggal mau diwarnai seperti apa, dan saat mewarnainya pastikan dirimu sedang bahagia. Kamu butuh seni. M ewarnai bukan karena ada keinginan saja. Warnai dengan tanganmu sendiri, karena maumu, dan bukan karena dipaksa orang lain, agar bila catnya kurang tak ada orang yg disalahkan.  Ganti saja dengan warna lain yang paling menyerupai. Karena jangan kamu biarkan tanpa warna, dan kamu harus bahagia setelahnya. Catnya jangan dihabiskan sekarang. Bila berlebih jangan pula dibuang. Sisa kertas gambarmu masih panjang, agar pada gambar dalam ruang terakhir dikertas gambar kamu tetap punya warna.  Jangan lupa, warnai dengan bahagia. Sampai pada akhir kebahagiaanmu itu, lukisanmu penuh warna dan menjadi peninggalan indah bagi penikmatnya.

Menampilkan Keindahan Dunia yang Tertutupi

Saya pergi bersama teman menggunakan motor. Diperjalanan kita banyak ngobrol, sesekali pembicaraan dengan topik penting. Meskipun seputar mahasiswa, seperti tentang politik kampus. Karena memang masa-masa menuju Pemilu Raya baik Fakultas maupun Universitas. Menjadi organisatoris memang tak akan pernah lepas dari perpolitikan mahasiswa, sehingga sesekali pembicaraan menuju kesana. Mau kemana lagi saya setelah ini. Bukan pertanyaan yang salah, dan saya menganggap wajar. Hanya saja, saya membatasi berinteraksi dengan tema seperti itu. Bukan apa-apa, namun hanya mengurangi porsi saja. Kita bercerita kesibukan masing-masing di semester yang sudah semakin tua ini. Dari berangkat hingga pulang kembali. Ketika sampai di toko buku, ada pertanyaan yang sering sekali saya dengar, dari orang-orang yang berbeda tetapi.  “Kok kamu suka buku-buku kaya gitu? buku-buku politik, bahasanya berat-berat, topiknya serius. Aku susah kalo baca gituan.” Bahkan saya sendiri tak benar-b...